Transformasi Lanskap Hiburan Televisi Indonesia: Antara Edukasi, Komersial, dan Tanggung Jawab Publik
Transformasi Lanskap Hiburan Televisi Indonesia: Antara Edukasi, Komersial, dan Tanggung Jawab Publik

Transformasi Lanskap Hiburan Televisi Indonesia: Antara Edukasi, Komersial, dan Tanggung Jawab Publik

Televisi, dengan sinetron sebagai salah satu representasi konten primernya menduduki posisi unik dalam lanskap media hiburan di Indonesia. Lebih dari sekadar medium pelepas penat, televisi idealnya berfungsi ganda: menghibur sekaligus menjadi wahana transfer nilai-nilai budaya, sosial, dan pengetahuan yang esensial bagi pencerahan dan motivasi audiens. Konten yang disajikan seharusnya menjadi ruang dialektika yang konstruktif, di mana masyarakat dapat menyerap informasi, memperluas wawasan, dan pada akhirnya, terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan sosial.

Namun, narasi ideal ini kerap kali terdistorsi oleh realitas industri pertelevisian yang dinamis dan penuh tantangan. Dalam beberapa waktu terakhir, sorotan tajam tertuju pada dunia persinetronan Indonesia, di mana berbagai polemik dan isu kontroversial mencuat ke permukaan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga pengawas independen yang memiliki mandat untuk menjaga kualitas siaran, mengindikasikan adanya potensi pelanggaran hak-hak anak dalam tayangan-tayangan yang mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan standar etika penyiaran. Temuan ini menggarisbawahi urgensi pengawasan konten yang lebih ketat, mengingat bahwa setiap tayangan yang memasuki ruang publik harus memenuhi serangkaian pedoman dan etika yang telah ditetapkan.

Dalam konteks ini, produksi sinetron yang berkualitas tinggi bukan hanya menjadi aspirasi, melainkan sebuah imperatif etis. Standar-standar tertentu yang berakar pada nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial harus menjadi kompas dalam setiap proses kreatif. Bahaya laten dari merebaknya konten-konten tidak mendidik adalah potensi degradasi kualitas generasi muda. Paparan terhadap tontonan yang tidak memiliki nilai tambah dapat menggerogoti kemampuan berpikir kritis, menumpulkan kepekaan sosial, dan pada akhirnya menghambat perkembangan potensi anak bangsa secara holistik.

Di sisi lain, realitas industri televisi tidak dapat diabaikan. Sebagai bagian dari “culture industry” atau industri kebudayaan, televisi memiliki imperatif ekonomi yang kuat. Tujuan utama dari stasiun televisi adalah untuk menarik rating setinggi mungkin. Hal ini pada ujungnya akan menarik pengiklan dan menghasilkan keuntungan finansial. Dalam dinamika persaingan yang ketat, nilai-nilai moral dan edukasi terkadang terpinggirkan oleh ambisi untuk meraih popularitas instan dan profitabilitas maksimal. Kepentingan ekonomi seringkali mendikte alur cerita, pengembangan karakter, dan bahkan standar kualitas produksi.

Namun, penting untuk ditekankan bahwa publik memiliki hak yang fundamental untuk mendapatkan tayangan televisi yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik. Masyarakat tidak boleh hanya menjadi konsumen pasif yang menerima begitu saja segala jenis konten yang disajikan. Dalam konteks “membangun edukasi”, setiap program siaran harus diproduksi dengan pertimbangan yang matang, mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan kognitif, emosional, dan sosial audiens. Sebagai pemirsa, kita juga memiliki tanggung jawab untuk bersikap kritis dan selektif dalam memilih tontonan. Kemampuan untuk memilah dan memilih konten yang berkualitas adalah bagian penting dari literasi media.

Upaya standardisasi konten penyiaran tidak boleh dipandang sebagai upaya untuk membatasi kreativitas di dunia hiburan. Sebaliknya, regulasi yang jelas dan implementasi standar etika yang ketat justru bertujuan untuk menjaga kualitas televisi sebagai ruang publik yang penting. Televisi memiliki potensi besar sebagai platform untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan nilai-nilai positif. Potensi ini harus dijaga dan dioptimalkan agar televisi dapat menjalankan fungsinya secara maksimal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kunci utama untuk mewujudkan ekosistem penyiaran yang sehat di Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas sinetron secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan regulasi yang memadai dan implementasinya yang konsisten. Payung hukum yang jelas akan memberikan kepastian bagi para pelaku industri dan sekaligus melindungi hak-hak publik. Regulasi ini harus mencakup standar etika yang komprehensif, mekanisme pengawasan yang efektif, dan sanksi yang tegas bagi pelanggaran.

Penulis: Hilya Maylaffayza

Sumber gambar: Pngtree